Wanita

Kisah Kim, Ibu Rumah Tangga yang Atasi Gangguan Kecemasan dengan Terapi

Sebelum terapi, Kim mencoba segala pengobatan, tapi tidak ada yang berhasil untuknya.

Rauhanda Riyantama | Dwi Citra Permatasari Sunoto

Ilustrasi gangguan kecemasan. (Pixabay/Free-Photos)
Ilustrasi gangguan kecemasan. (Pixabay/Free-Photos)

Himedik.com - Kesehatan bukanlah perihal fisik semata, tapi juga menyangkut masalah psikis. Jika fisik sehat, tapi jiwa terganggu secara otomatis kondisi tubuh juga akan terganggu. Begitu pula sebaliknya.

Berbicara mengenai masalah kejiwaan/mental/psikologis, cakupannya luas, bukan hanya gila. Stres, depresi, gangguan kecemasan, itu juga termasuk dalam masalah psikologis dan itu dialami oleh Kim.

"Jantungku berdebar kencang, aku merasa sesak napas, dan mulutku seperti kapas. Aku tahu ini gejala kecemasan yang telah aku coba lawan dan sembunyikan," ungkap Kim yang dilansir dari laman healthline.

Kecemasannya semakin bertambah saat dirinya menyadari bahwa keesokan harinya dia dan suaminya akan melakukan perjalanan bebas anak dari Chicago ke California.

"Masalahnya adalah jika kamu khawatir tentang kecemasan yang akan datang, itu akan datang dan itu terjadi," kata Kim.

Kim Walters (nama disamarkan) mengalami serangan panik pertama kali di sebuah kantor dokter pada Oktober 2011. Saat itu ia mengaku tidak bisa melihat, harus berjalan perlahan, dan tekanan darahnya melonjak tinggi.

Ilustrasi stres - (Pixabay/geralt)
Ilustrasi gangguan kecemasan. (Pixabay/geralt)

Bahkan gangguan kecemasannya semakin memburuk saat dirinya pulang dari perjalanan ke Lembah Napa bersama suaminya.

"Ketika kembali ke rumah, aku tahu bahwa kecemasan ini telah mencapai puncaknya dan tidak berkurang. Aku tidak nafsu makan dan tidak bisa tidur di malam hari, bahkan terkadang bangun dalam keadaan panik."

"Aku bahkan tidak ingin membacakan cerita sebelum tidur pada anak-anakku, padahal itu merupakan hal favoritku, dan itu membuatku tidak berdaya," kenang Kim.

Kecemasannya melanda hampir ke mana pun dia pergi. Namun, dia tahu bahwa tinggal di dalam bersama dua anaknya bukanlah solusi.

Kim terus mencoba melawannya terlepas dari betapa mengerikannya ia tidur atau betapa cemasnya hari itu. Ia tidak pernah berhenti, meski setiap hari terasa melelahkan dan penuh ketakutan.

Akhirnya Kim memutuskan untuk pergi ke dokter guna mengetahui apakah kecemasannya diperparah oleh alasan fisiologis dan psikologis. Hasil pemerikasaan menunjukkan bahwa tiroidnya tidak berfungsi dengan baik dan dokter meresepkannya obat.

Seolah tak puas, Kim juga mengunjungi naturopath dan ahli gizi, yang berusaha mengevaluasi apakah makanan tertentu memicu kecemasannya.

"Aku merasa seperti mengejar sesuatu karena ini tidak membantu," kata Kim.

Tak lama, seorang dokter kedokteran integratif meresepkan Xanax yang bisa diminumnya saat ia mengalami serangan panik.

Namun, itu tidak berhasil untuknya. Ia merasa selalu cemas dan tahu bahwa obat-obatan tersebut membuat ketagihan dan bukan solusi jangka panjang.

Setelah bertahun-tahun berjuang akhirnya Kim menemukan terapis yang tepat dan terbukti dapat membantu mengatasi kecemasannya.

Kim didiagnosa dengan kecemasan umum dan terapisnya menggunakan terapi perilaku kognitif (CBT), yang mengajarkan pasien untuk membingkai ulang pikiran yang tidak membantu.

Ilustrasi panik. (Pixabay/geralt)
Ilustrasi panik. (Pixabay/geralt)

"Misalnya, 'Saya tidak akan pernah cemas lagi' menjadi 'Saya mungkin memiliki kebiasaan baru, tetapi saya bisa hidup dengan kecemasan,'" jelas Kim.

Selain itu, terapis juga menggunakan paparan dan pencegahan respons (ERP), yang membuat pasien takut dan mencegah untuk menghindarinya.

"Ini sangat membantu. Gagasan di balik terapi pajanan adalah untuk mengekspos diri Anda pada hal-hal yang ditakuti, berulang kali, dengan langkah bertahap," katanya.

"Eksposur berulang terhadap rangsangan yang ditakuti memungkinkan kita untuk 'terbiasa' dengan kecemasan dan mengetahui bahwa kecemasan itu sendiri tidak begitu menakutkan."

Kim mulai terbiasa, saat dia menghadapi pemicu paniknya, ia tidak menghindarinya dan bahkan menjadi lebih mudah untuk pergi ke tempat umum.

Kim mengunjungi terapisnya beberapa kali sebulan selama tiga tahun setelah serangan panik pertamanya. Dengan semua kemajuan yang dia buat, dia merasakan dorongan untuk membantu orang lain yang mengalami kecemasan.

Sekarang Kim bekerja sebagai terapis dalam program rawat jalan di rumah sakit kesehatan perilaku di Illinois, di mana ia menggunakan terapi paparan untuk membantu pasien dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif (OCPD), gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan kecemasan.

Berita Terkait

Berita Terkini