Info

Kisah Ayah Sekarat yang Tinggalkan Sekotak Surat untuk Putranya

Ayahnya meninggalkan banyak surat untuk membantu putranya menjalani hidup setelah ia mati.

Rauhanda Riyantama | Dwi Citra Permatasari Sunoto

Ilustrasi surat. (pixabay/jarmoluk)
Ilustrasi surat. (pixabay/jarmoluk)

Himedik.com - Sebuah kisah haru yang menyayat hati, datang mengingatkan kita para pembaca untuk selalu bersyukur memiliki keluarga utuh, untuk tidak melewatkan momen kebersamaan keluarga, dan selalu menyayangi keluarga. Berikut kisahnya, baca sampai habis karena setiap momen akan ada satu surat dari ayahnya yang telah meninggal.

Kematian memang selalu menjadi kejutan. Tidak ada yang tahu. Bahkan pasien pun tidak pernah berpikir bahwa mereka akan mati dalam satu atau dua hari, atau mungkin dalam seminggu.

Kami tidak pernah siap. Ini bukan saat yang tepat. Saat itu datang, kamu tidak akan pernah selesai dengan semua hal yang kamu inginkan. Perpisahan memang selalu mengejutkan, dan itu adalah momen penuh air mata bagi istri yang ditinggalkan dan membosankan bagi anak-anak yang tidak benar-benar mengerti apa itu pemakaman.

Itu tidak jauh berbeda dengan yang dialami ayahku. Bahkan kematiannya sungguh tak terduga. Dia meninggalkanku pada usia 27 tahun, dan saat itu aku masih 8,5 tahun. Seandainya dia meninggal sebelum itu, aku tidak akan memiliki kenangan tentangnya, dan aku tidak akan merasa sakit. Tapi, aku tidak akan memiliki seorang ayah dalam hidupku.

Ayahku tegas dan menyenangkan. Dia selalu mencium keningku sebelum tidur, dan kebiasaan ini aku ceritakan pada anak-anakku.

Dia tidak pernah memberitahuku bahwa dia akan meninggal. Bahkan ketika dia terbaring di rumah sakit dengan selang di sekujur tubuhnya, dia tidak mengatakan apapun.

Dia malah membuat rencana perjalanan untuk tahun depan. Padahal dia tahu, bulan depan dia tidak akan berada di sini lagi, selamanya.

Aku sangat yakin, sebenarnya hal itu ia lakukan untuk membawa keberuntungan karena dia adalah orang yang percaya keajaiban. Dan memikirkan masa depan adalah caranya menemukan harapan hidup.

Tapi akhirnya, tahun depan justru sudah berakhir bahkan sebelum dimulai.

Ibu menjemputku di sekolah dan aku pergi ke rumah sakit. Di sana dokter memberi tahu sesuatu. Ibuku menangis karena ayahku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

Aku bertanya-tanya, bukankah itu hanya penyakit biasa yang bisa sembuh hanya dengan suntikan? Aku membencinya, aku merasa dikhianati. Aku berteriak, marah, dan menangis di rumah sakit.

Seorang perawat dengan membawa sebuah kotak di tangannya datang menghiburku. Kotak itu penuh dengan amplop tanpa ada alamat tertulis di sana. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, perawat itu menyerahkan surat kepadaku.

''Ayahmu memintaku untuk memberimu surat ini. Dia menghabiskan seluruh minggu untuk menulisnya, dan dia ingin kamu membacanya. Jadilah kuat,'' katanya seraya memelukku.

Pada amplop itu tertulis, 'ketika aku pergi'. Aku membukanya.

Anakku,

Jika kamu membaca ini, itu artinya aku mati. Maafkan aku. Aku tahu aku akan mati. Aku tidak ingin memberitahumu apa yang sedang terjadi, aku tidak ingin melihatmu menangis.

Yah, sepertinya aku berhasil. Aku pikir seorang pria yang akan mati punya hak untuk bersikap sedikit egois.

Seperti yang kamu lihat, aku masih harus banyak mengajarimu. Lagi pula, kamu tidak tahu apa-apa tentang semuanya. Jadi aku menulis surat-surat ini untukmu.

Kamu tidak boleh membukanya sebelum waktu yang tepat, oke? Ini kesepakatan kita.

Aku mencintaimu. Jaga ibumu. Sekarang, kamu adalah seorang pria di rumah.

Dengan cinta, Ayah.

NB: Aku tidak menulis surat untuk ibumu. Dia punya mobilku.

Dengan sepucuk surat itu aku pun berhenti menangis. Meski tulisannya sangat buruk dan aku hampir tak bisa membacanya. Seketika aku merasa tenang dan sedikit tersenyum.

Kotak itu menjadi hal yang paling penting di dunia bagiku. Aku mengatakan kepada ibuku untuk tidak membukanya. Surat-surat itu milikku dan orang lain tidak boleh membacanya.

Tujuh tahun kemudian, setelah kami pindah ke tempat baru, aku lupa di mana aku meletakkan kotaknya. Dan perlahan aku mulai melupakan kotak itu.

Ibuku punya pacar baru, dia punya beberapa pacar dan aku selalu memahaminya. Dia tidak pernah menikah lagi.

Aku tidak tahu alasannya, tapi aku percaya bahwa ayah adalah satu-satunya cinta dalam hidupnya. Pacarnya, tidak berharga dan aku pikir dia mempermalukan dirinya sendiri dengan berkencan dengannya.

Dia tidak menghormati dirinya sendiri, dia pantas mendapat sesuatu yang lebih baik daripada pria yang dia temui di bar.

Aku masih ingat tamparan yang dia berikan setelah aku mengucapkan kata 'bar'. Aku mengakui bahwa aku pantas mendapatkannya dan saat itu aku ingat kotak surat dari ayah. Aku ingat ada sebuah surat yang bertuliskan 'ketika kamu bertengkar dengan ibumu' di amplopnya.

Aku mencarinya di kamar dan ketemu.

Sekarang minta maaf padanya.

Aku tidak tahu mengapa kamu bertengkar dan aku tidak tahu siapa yang benar. Tapi aku kenal ibumu. Jadi permintaan maaf yang tulus adalah cara terbaik untuk mengatasi ini. Aku membicarakan tentang permintaan maaf yang tulus.

Dia adalah ibumu, nak. Dia mencintai kamu lebih dari apapun di dunia ini. Tahukah kamu bahwa ia melahirkanmu secara normal karena katanya kelahiran normal akan memberikan dampak baik bagimu? Pernahkah kamu melihat seorang wanita melahirkan? Apakah kamu membutuhkan bukti cinta yang lebih besar dari itu?

Minta maaflah. Dia akan memaafkanmu.

Dengan cinta, Ayah.

Ayahku bukan penulis yang hebat, dia hanya pegawai bank. Tapi kata-katanya sangat memengaruhiku.

Lalu aku bergegas ke kamar ibuku dan membuka pintu. Aku menangis ketika dia menoleh menatap mataku. Dia juga menangis.

Aku tidak ingat apa yang dia katakan padaku saat kami bertengkar. Mungkin sesuatu seperti ''Apa yang kamu inginkan?'' Yang aku ingat adalah bahwa aku berjalan padanya sambil memegang surat yang ditulis ayah. Aku memeluknya, sementara tanganku meremas kertas tua itu. Dia memelukku, dan kami berdua berdiri dalam diam.

Surat ayah membuatnya tertawa. Kami berdamai dan bercerita sedikit tentangnya. Dia memberi tahuku tentang beberapa kebiasaannya yang paling eksentrik, seperti makan salami dengan stroberi.

Entah bagaimana, aku merasa dia duduk di sebelah kami. Aku, ibuku, dan bagian dari ayahku, bagian yang ia tinggalkan untuk kami, dalam selembar kertas.

Tidak butuh waktu lama sebelum aku membaca surat bertuliskan 'ketika kamu kehilangan keperjakaan'.

Selamat, Nak.

Jangan khawatir, ini semakin membaik seiring berjalannya waktu. Itu selalu menyebalkan untuk pertama kalinya. Punyaku terjadi dengan seorang wanita jelek yang juga seorang pelacur.

Ketakutan terbesarku adalah kamu akan bertanya kepada ibumu apa keperjakaan itu setelah membaca apa yang ada di surat. Atau bahkan lebih buruk lagi, membaca apa yang aku tulis tanpa mengetahui apa itu masturbasi (kamu tahu apa itu, kan?). Tapi itu bukan urusanmu.

Dengan cinta, Ayah.

Ayahku mengikutiku sepanjang hidupku. Dia bersamaku, meskipun dia tidak dekat denganku. Kata-katanya memberiku kekuatan untuk mengatasi masalah dalam hidupku. Dia selalu menemukan cara untuk membuatku tersenyum atau menjernihkan pikiranku.

'Ketika kamu menikah dan menjadi ayah'

Sekarang kamu akan mengerti apa itu cinta sejati, nak. Kamu akan menyadari betapa kamu mencintainya. Aku tidak tahu apakah anakmu laki-laki atau perempuan. Aku hanya mayat, bukan peramal.

Selamat bersenang-senang. Itu hal yang luar biasa. Waktu akan berjalan cepat sekarang, jadi pastikan kamu selalu ada. Jangan pernah melewatkan satu momen pun, karena itu tidak pernah kembali. Ganti popok, mandikan bayi, jadilah teladan bagi anakmu. Aku pikir kamu akan jadi ayah yang luar biasa, sama sepertiku.

Surat paling menyakitkan yang pernah aku baca sepanjang hidup dan juga merupakan surat terpendek yang ditulis ayah. Butuh beberapa saat, tetapi akhirnya aku harus membuka 'ketika ibumu pergi'.

Dia milikku sekarang.

Itu satu-satunya surat yang tidak membuatku tersenyum.

Aku tidak pernah membaca surat sebelum waktunya, kecuali 'ketika kamu menyadari kamu gay' karena aku tidak pernah berpikir aku harus membuka yang ini, aku memutuskan untuk membacanya. Ngomong-ngomong, itu adalah salah satu surat terlucu.

Apa yang bisa kukatakan? Aku senang aku mati.

Sekarang, semua candaan setengah mati membuatku sadar bahwa kita terlalu peduli pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Apakah kamu pikir itu dapat mengubah semuanya, Nak?

Jangan bodoh. Berbahagialah.

Aku akan selalu menunggu saat membuka surat berikutnya. Pelajaran berikutnya yang akan ayah berikan. Sungguh menakjubkan apa yang dapat diajarkan seorang pria berusia 27 tahun kepada seorang senior berusia 85 tahun sepertiku.

Sekarang aku berbaring di tempat tidur rumah sakit, dengan selang di hidung dan tenggorokan berkat kanker sialan ini, aku meraba kertas di atas meja dan membuka surat yang bertuliskan 'ketika waktumu hampir datang' di amplopnya.

Aku tidak ingin membukanya. Aku takut. Aku tidak ingin percaya bahwa waktuku sudah dekat. Aku menarik napas panjang, membuka amplop.

Halo, nak. Aku harap kamu sudah tua sekarang.

Kamu tahu, surat ini adalah yang paling mudah ditulis, dan yang pertama aku tulis. Itu adalah surat yang membebaskanku dari rasa sakit karena kehilanganmu. Aku pikir pikiranmu menjadi lebih jernih ketika kamu sudah dekat dengan kematian. Lebih mudah untuk membicarakannya.

Di hari-hari terakhirku di sini aku berpikir tentang kehidupan yang aku miliki. Aku memiliki hidup yang singkat, tetapi sangat bahagia. Aku adalah ayahmu dan suami ibumu. Apa lagi yang bisa aku minta? Itu membuat pikiranku tenang. Sekarang kamu melakukan hal yang sama.

Saranku untukmu: Kamu tidak perlu takut.

NB: Aku merindukanmu.

Kematian memang menjadi rahasia Tuhan. Selama masih diberi kesempatan untuk hidup, habiskanlah waktu bersama orang tersayang supaya kenangan manis tersimpan di ingatan. Kisah di atas tentunya bisa menjadi pelajaran untuk kita, bahwa kematian hanya memisahkan raga, bukan kenangan dan kasih sayang.

Berita Terkait

Berita Terkini