Info

Jangan Disembelih, Begini Penanganan Bangkai Hewan Terkena Antraks

Masyarakat untuk jangan mengolah daging hewan yang terdiagnosis atau diduga telah terkena antraks.

Yasinta Rahmawati | Rosiana Chozanah

Ilustrasi sapi (Pixabay/wernerdetjen)
Ilustrasi sapi (Pixabay/wernerdetjen)

Himedik.com - Kejadian Luar Biasa (KLB) antraks yang mewabah di Kabupaten Gunungkidul cukup membuat masyarakat khawatir. Tapi Dekan Fakultas Peternakan UGM, Ali Agus, mengatakan kita harus tetap berperilaku sebaliknya.

"Jangan takut berlebihan, yang penting tetap siaga," ujar  Ali Agus, ketika ditemui Himedik, di Kantor Pusat UGM, Sabtu (18/1/2020).

Sebenarnya, wabah antraks ini bukanlah hal baru di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Sebelumnya pernah terjadi wabah yang sama pada 2017 silam, dan sekarang muncul kembali.

Pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, mengatakan antraks atau penyakit sapi gila ini disebabkan oleh spora dari bakteri Bacillus anthracis.

Spora inilah yang kemudian menyebabkan penyakit antraks, baik pada hewan maupun manusia.

Profesor Wahyuni (Rosiana/Himedik)
Profesor Wahyuni (Rosiana/Himedik)

"Spora inilah yang menjadi masalah sampai sekarang. Karena dengan spora ini, penyakit akan terus menerus ada. kalau bakterinya sendiri, dengan pemanasan 56 derajat Celcius selama 30 menit itu akan mati," ujar Wahyuni.

Penularan penyakit antraks terhadap manusia sendiri termanifestasi dalam tiga macam, yaitu antraks kulit yang terjadi ketika manusia melakukan kontak langsung dengan binatang yang sakit atau mati, antraks pencernaan yang terjadi ketika manusia mengonsumsi daging hewan yang terdiagnosis antraks, atau antraks pernapasan melalui spora antraks yang terhirup.

Untuk kasus di Kabupaten Gunungkidul ini, sebagian besar kasus terjadi karena masyarakat mengonsumsi daging ternak yang mati atau sakit. Artinya, antraks yang dialami oleh masyarakat adalah antraks pencernaan.

“Di DIY sendiri sebagian besar kasus terjadi karena ketika seekor ternak sakit atau mati masyarakat merasa eman-eman dan mencoba, daripada mati sia-sia maka disembelih untuk dijual dengan harga murah atau diberikan kepada masyarakat sekitar,” kata pengajar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Riris Andono Ahmad.

Oleh sebabnya, Wahyuni menekankan pada masyarakat untuk tidak mengolah daging hewan yang terdiagnosis atau diduga telah terkena antraks.

"Apabila ada hewan yang diduga atau didiagnosis mati karena antraks hukumnya tidak boleh disembelih. Karena bakteri Bacillus anthracis itu 80% berada di aliran darah. Jadi, ketika hewan tersebut disembelih, darahnya keluar, di situlah bakteri akan ikut keluar... dan ketika berhubungan dengan udara, dia akan membentuk spora," jelas Wahyuni.

Vaksin sapi antraks. (Suara.com/Putu)
Vaksin sapi antraks. (Suara.com/Putu)

Ia menambahkan, spora ini akan tahan di tanah selama puluhan tahun. Itulah mengapa antraks dapat terjadi lagi di waktu yang lain.

Alih-alih disembelih, Wahyuni menganjurkan penanganan bangkai hewan dengan cara insenerator atau pembakaran hewan agar hancur secara menyeluruh.

Cara lainnya adalah dengan mengubur bangkai hewan pada lubang dengan kedalaman minimal dua meter yang ditutup dengan tanah dan diberi disenfektan.

Untuk mencegah pengulangan kasus antraks, lebih baik area lubang tersebut diplester dengan semen, sebagai penanda bahwa tempat tersebut pernah terjadi kasus antraks.

"Tempat itu juga tidak boleh dibangun atau digali," imbuhnya.

Berita Terkait

Berita Terkini