Info

MUI Tetapkan Vaksin MR dari Babi Boleh Digunakan

MUI menyatakan vaksin MR dari SII haram hukumnya, namun saat ini penggunaannya diperbolehkan

Rendy Adrikni Sadikin | Krishnayanti C

Ilustrasi vaksin MR (suara)
Ilustrasi vaksin MR (suara)

Himedik.com - Akhir-akhir ini vaksin MR (Measles Rubella) menjadi perdebatan masyarakat terkait kehalalannya. Padahal, vaksin ini sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya penyakit campak dan rubella.

Pro kontra ini terus terjadi hingga akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwa vaksin ini hukumnya haram. Hal ini dikarenakan vaksin MR yang diproduksi oleh Serum Institute of India (SII) dan didistribusikan di Indonesia oleh Biofarma positif mengandung babi dan human deploit cell, bahan dari organ manusia yang juga diharamkan oleh Komisi Fatwa MUI.

Namun, dalam rapat pleno MUI dengan Kemenkes dan Biofarma di kantor MUI, Jakarta Pusat, Senin (20/8/2018), MUI menyatakan vaksin tersebut boleh digunakan. Adapun alasan keputusan memperbolehkan penggunaan vaksin MR salah satunya belum ditemukan vaksin MR yang halal. Alasan lainnya adalah bahaya yang akan timbul jika imunisasi vaksin MR tidak dilakukan.

Dugaan tersebut juga diperkuat berdasarkan penelitian Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM), ada dua kandungan yang menyebabkan vaksin MR haram. Pertama kandungan kulit dan pankreas babi, kedua organ tubuh manusia yang disebut human deploit cell.

Keputusan mengenai vaksin MR ini tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR dari SSI untuk Imunisasi.

Sementara itu, Prof. DR. H. Hasanuddin AF., MA, selaku ketua MUI, menetapkan ada dua ketentuan hukum penggunaan vaksin MR. Pertama, penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram. Kedua, penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi.

"Saat ini penggunaan vaksin MR diperbolehkan karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah) dan belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci. Tetapi, kebolehan penggunaan vaksin MR tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci," ungkapnya.

Kemudian, komisi fatwa menetapkan adanya rekomendasi yaitu, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Kemudian, produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Tidak hanya itu, pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan. Serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci serta halal.

MUI menetapkan ketentuan penutup bahwa fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Juga agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, mengimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Sekadar informasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan vaksin yang beredar di Indonesia tidak mengandung babi. Akan tetapi, dalam pembuatan vaksin polio, enzim tripsin babi memang digunakan, termasuk campak dan rubella. Saat ini berbagai pihak sedang berusaha membersihkan dan menghilangkan penggunaan enzim tersebut, sehingga tidak mengganggu tahapan selanjutnya dalam produksi vaksin.

Sertifikasi halal untuk vaksin MR menjadi perhatian serius Kementerian Kesehatan dan MUI. Untuk itu, Kemenkes akan segera mengirimkan surat kepada Serum Institute of India (SII) selaku produsen vaksin MR agar bisa memberikan data yang dibutuhkan untuk mempercepat proses sertifikasi halal dari vaksin MR.

“Sertifikasi kehalalan vaksin MR ini kewenangan MUI. PT. Biofarma agar segera melengkapi dokumen kepada LPPOM MUI. Kami dari Kementerian Kesehatan juga akan menyurati SII untuk menanyakan kembali tentang bahan vaksin MR," kata Menkes, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F.Moeloek SpM (K) dalam rilis resmi yang diterima Suara.com.

Berita Terkait

Berita Terkini