Info

SIGAB: Memberantas Diskriminasi dan Ciptakan Inklusifitas Difabel

Bersama menuju masyarakat inklusi.

Rauhanda Riyantama | Yuliana Sere

SIGAB: Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel. (Twitter)
SIGAB: Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel. (Twitter)

Himedik.com - SIGAB atau Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel merupakan sebuah organisasi non pemerintah yang bersifat independen, nirlaba, dan non-partisan.

Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada 5 Mei 2003 dengan cita-cita ingin memperjuangkan dan membela hak-hak difabel di Indonesia sehingga mendapat kehidupan yang inklusif.

Namun di tahun 2018, SIGAB berubah menjadi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel. Hal ini dijelaskan oleh Kuni Fatonah, salah satu pengurus SIGAB yang berhasil ditemui di kantor SIGAB, Kamis (29/11/2018).

''Perubahan ini terjadi kurang lebih tiga bulan yang lalu, belum sampai setahun, karena ada perubahan notaris,'' tuturnya.

Menurut wanita yang telah aktif bergabung di SIGAB sejak 2015 tersebut, organisasi ini bertujuan untuk menyamaratakan kehidupan difabel serta mambangun kehidupan yang inklusif.

Kuni Fatonah, salah satu pengurus SIGAB yang berhasil ditemui di kantor SIGAB, Kamis (29/11/2018) (HiMedik.com/Yuliana Sere)
Kuni Fatonah, salah satu pengurus SIGAB yang berhasil ditemui di kantor SIGAB, Kamis (29/11/2018). (HiMedik.com/Yuliana Sere)

''SIGAB itu berdiri diawali dengan banyaknya hal-hal yang terjadi pada teman-teman difabel, misalnya diskriminasi dan belum banyak yang bisa meraih haknya,'' ungkap Kuni Fatonah.

''Teman-teman difabel yang masih banyak disembunyikan, yang belum bisa aktif di desa, yang masih banyak hambatan dan rintangan agar bisa setara dengan warga lainnya untuk mencapai masyarakat yang inklusif,'' lanjutnya.

Menurut duta inklusi ini, sebagai organisasi pendukung hak-hak difabel, keanggotan SIGAB tidak hanya terbatas pada warga difabel.

''Kami memulai SIGAB itu dari lingkungan kami sendiri. Jadi kami ada 25 staf terdiri dari empat orang tunanetra, empat orang tunadaksa, dua orang pengguna kursi roda, dua orang amputee tangan, dan satu orang tuli,'' katanya.

Selebihnya adalah teman-teman yang tidak difabel. ''Jadi memang kami membangun inklusi dari lembaga itu sendiri,'' imbuh Kuni Fatonah, yang juga seorang difabel polio dua kaki.

Lebih lanjut, wanita yang juga sudah terjun di organisasi sosial PTDS (Paguyuban Tuna Daksa Sleman) ini menjelaskan soal kebutuhan sarana dan prasarana.

''Perlu dipahami bahwa aksesibilitas itu bukan hanya membangun untuk difabel ya, tapi lebih kepada berfungsi untuk bersama, misalnya toilet. Jadi akses itu untuk semua orang. Karena itu pasti lebih aman dan nyaman,'' tandasnya.

Berita Terkait

Berita Terkini