Info

Covidivorce: Fenomena Perceraian saat Pandemi Corona

Krisis akibat Covid-19 telah melahirkan leksikon baru tentang banyak pasangan yang perkawinannya terkoyak di bawah tekanan isolasi, kemudian disibut "Covidivorce".

Yasinta Rahmawati | Fita Nofiana

Ilustrasi pria dan wanita bertengkar (Pixabay/Josethestoryteller)
Ilustrasi pria dan wanita bertengkar (Pixabay/Josethestoryteller)

Himedik.com - Dalam hitungan bulan, pandemi corona Covid-19 telah mengubah hubungan percintaan. Di China, bahkan banyak pasangan yang mendaftar perceraian setelah negara tersebut mulai membuka isolasi total.

Dilansir dari New York Times, krisis telah melahirkan leksikon baru tentang banyak pasangan yang perkawinannya terkoyak di bawah tekanan isolasi, kemudian disibut "Covidivorce".

Sean Safford, seorang profesor sosiologi di Sciences Po di Paris menyatakan krisis akibat corona telah membuat keinginan untuk bersentuhan secara langsung menjadi terlarang.

"Dalam krisis sebelumnya seperti serangan teroris di Perancis atau 9/11 di AS, jutaan orang berkumpul dalam solidaritas. Tapi sekarang kita diperintahkan untuk mengisolasi diri sebagai cara heroik dalam krisis," kata Sean pada New York Times.

Ilustrasi perceraian - (Pixabay/stevepb)
Ilustrasi perceraian - (Pixabay/stevepb)

Dr. Lucy Atcheson, seorang psikolog yang berbasis di London, mengatakan bahwa isolasi menimbulkan kebersamaan baru bagi beberapa orang. Sementara di sisi lain, isolasi juga memperkuat gesekan dan konflik.

"Ini seperti menempatkan semua masalah kita ke dalam wajan dan benar-benar memanaskannya," kata Dr. Atcheson.

"Sesuatu seperti ini juga membuatmu sadar betapa singkatnya hidup. Jadi, jika Anda berada dalam hubungan yang buruk, Anda akan memutuskan berpisah karena menyadari hidup terlalu singkat untuk menderita," tambahnya.

Di China, negara pertama wabah corona bersarang membuat jumlah perceraian melonjak bulan Maret. Setidaknya dua provinsi di China, Sichuan dan Shanxi melaporkan bahwa para pasangan mengaku sering bertengkar saat isolasi.

Di Dazhou sebuah kota di Provinsi Sichuan, menerima hampir 100 pengajuan perceraian dalam waktu kurang dari tiga minggu.

Sedangkan mengutip Business Insider, Pejabat Kesehatan China mengatakan kenaikan perceraian akibat isolasi bisa dijelaskan oleh dua faktor.

Pertama, kantor telah ditutup selama sebulan, sehingga kemungkinan akan terkena gelombang permintaan perceraian yang tertunda.

Kedua, banyak orang telah dikarantina dalam jarak dekat, menciptakan lingkungan yang sangat rawan untuk perselisihan perkawinan.

"Sebagai akibat dari epidemi, banyak pasangan telah terikat satu sama lain di rumah selama lebih dari sebulan, itu membangkitkan konflik yang mendasarinya," kata seorang pejabat kesejatan bermara Wang kepada Global Times.

Ini memberikan teka-teki yang menarik bagi para peneliti untuk menentukan apakah waktu yang dihabiskan bersama dalam jarak dekat adalah hal yang baik atau buruk bagi pasangan.

Perceraian. (Unsplash/Zoriana Stakhniv)
Perceraian. (Unsplash/Zoriana Stakhniv)

Pada akhirnya keseimbangan adalah kunci awetnya pasangan. Hal tersebut dinyatakan psikolog Rob Pascale dan Lou Primavera PhD penulis Making Marriage Work.

"Perpaduan waktu dengan teman dan keluarga, waktu bersama sebagai pasangan dan waktu terpisah untuk masing-masing pasangan menambah kualitas perkawinan," kata mereka.

Sayangnya isolasi lebih dari sebulan menghancurkan keseimbangan yang berimbas pada kualitas perkawinan.

Berita Terkait

Berita Terkini