Himedik.com - Studi terbaru yang terbit di Lancet menunjukkan resistensi antimikroba paling parah terjadi di negara berpenghasian rendah dan menengah.
Tetapi, negara-negara berpengahsilan tinggi juga menghadapi tingkat kasus yang sama tingginya, lapor The Conversation.
Baca Juga
5 Manfaat Konsumsi Buah Leci, Salah Satunya Mampu Tingkatkan Sistem Imun
Ramalan Zodiak Kesehatan 29 Mei 2022: Taurus, Yuk Semangat Olahraga Lagi!
Gegara Pandemi Covid-19, Terjadi Peningkatan Penyakit Mental Lebih dari 50% di Negara Ini
Jangan Pernah Memberi Susu Sapi Murni ke Bayi di Bawah 12 Bulan, Ini Alasannya
Peringati Hari Kebersihan Menstruasi Sedunia 2022, Miss Universe 2021 Harnaaz Sandhu Ungkap Pengalaman Pribadi
Resistensi antimikroba diperkirakan telah menyebabkan 1,27 juta kematian di seluruh dunia dan dikaitkan dengan sekitar 4,95 juta kematian pada 2019.
Sebagai perbandingan, HIV/AIDS dan malaria diperkirakan hanya menyebabkan 860.000 dan 640.000 kematian untuk masing-masing penyakit di tahun yang sama.
Peneliti menemukan lebih dari 23 jenis bakteri yang diteliti, ada 6 jenis yang sudah kebal terhadap antibiotik dan telah menyumbang 3,57 juta kematian di seluruh dunia.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa 70% kasus kematian resistensi antimikroba disebabkan oleh resistensi antibiotik, obat yang sering dianggap sebagai garis pertahanan pertama melawan infeksi berat.
Antibiotik tersebut termasuk beta-laktam dan fluoroquinolones, yang sangat umum diresepkan untuk infeksi, seperti infeksi saluran kemih, pernapasan atas dan bawah, serta infeksi tulang serta sendi.
Studi ini menyoroti pesan yang sangat jelas bahwa resistensi antimikroba global dapat membuat infeksi bakteri sehari-hari tidak dapat diobati.
Beberapa perkiraan menunjukkan resistensi antimikroba dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada 2050. Ini akan menyalip kanker sebagai penyebab utama kematian di seluruh dunia.