Info

WHO Temukan Virus Cacar Monyet Dalam Air Mani, Mungkinkan Menular Secara Seksual?

WHO telah menemukan DNA virus cacar monyet dalam air mani pasien yang harus diwaspadai.

Shevinna Putti Anggraeni

Ilustrasi cacar monyet atau monkeypox. (Pexels)
Ilustrasi cacar monyet atau monkeypox. (Pexels)

Himedik.com - Saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sedang menyelidiki bahwa virus cacar monyet atau monkeypox dalam air mani pasien.

Hal itu terjadi karena 52 kasus cacar monyet atau monkeypox sudah terdeteksi di Inggris, yang meningkatkan total kasus menjadi 524 infeksi cacar monyet.

Dalam beberapa pekan terakhir, sekitar 1.600 kasus cacar monyet telah terdeteksi secara global. Jumlah ini pun mengkhawatirkan bagi para ahli.

Kini, WHO sedang menjajaki kemungkinan bahwa penyakit cacar monyet ini bisa menular secara seksual.

Banyak kasus dalam wabah cacar monyet sekarang ini menyerang pasangan seksual yang pernah kontak dekat secara seksual.

Air mani, sperma. (Shutterstock)
Air mani, sperma. (Shutterstock)

Badan kesehatan tersebut menegaskan bahwa virus cacar monyet cenderung ditularkan melalui kontak interpersonal yang dekat.

Dalam beberapa hari terakhir, para ilmuwan mengatakan mereka telah mendeteksi DNA virus cacar monyet dalam air mani beberapa pasien di Italia dan Jerman.

Catherine Smallwood, manajer insiden cacar monyet di WHO/Eropa, mengatakan tidak diketahui apakah laporan baru-baru ini berarti virus cacar monyet dapat ditularkan secara seksual.

 "Ini mungkin sesuatu yang tidak kita sadari dalam penyakit cacar monyet sebelumnya," kata Catherine Smallwood dikutip dari The Sun.

Petugas medis mengatakan Anda harus menghubungi klinik kesehatan seksual, jika Anda mengalami ruam atau lepuh. Selain itu, bila Anda telah melakukan kontak dengan seseorang yang menderita cacar monyet dalam tiga minggu terakhir.

Panduan ini juga berlaku bagi mereka yang pernah ke Afrika Barat atau Tengah dalam tiga minggu terakhir.

WHO juga memutuskan untuk mengganti nama virus cacar monyet ini menjadi hMPXV. Hal ini dilakukan setelah 30 ilmuwan mengajukan saran karena khawatir itu bisa memicu rasisme dan stigmatisasi.

Berita Terkait

Berita Terkini