Himedik.com - Baru-baru ini, dalam sebuah acara di Southbank Centre, London, Michelle Obama mengatakan jika ia merasa memiliki impostor syndrome atau sindrom penipu. Terutama terkait dengan statusnya sebagai simbol harapan.
Status yang disandang oleh istri mantan orang nomor satu Amerika Serikat tersebut diberikan oleh publik atas kinerjanya sebagai tokoh yang cukup berpengaruh.
Baca Juga
''Saya masih merasa punya sedikit sindrom penipu. Ini tidak pernah hilang, dan kalian mendengarkan saya,'' ungkap Michelle Obama, seperti dikutip dari Newsweek.
Nah, bagi yang penasaran, apa itu sindrom penipu dan mengapa Michelle Obama memiliki sindrom ini. Berikut ulasannya.
Istilah impostor syndrome atau sindrom penipu pertama kali dipopulerkan oleh psikolog Pauline Rose dan Sizanne Imes pada 1978. Sindrom ini menyebabkan seorang perempuan merasa tidak pantas untuk mendapatkan kesuksesan mereka, tapi semata-mata karena kebetulan.
Bahkan, orang yang merasa memiliki sindrom penipu merasa dirinya tidak cerdas. ''Meskipun mereka memiliki prestasi akademik dan kinerja yang bagus, perempuan dengan sindrom penipu yakin bahwa sebenarnya mereka tidak cerdas dan telah menipu orang banyak,'' tulis Rose dan Imes dalam makalah mereka.
Sementara itu, Valerie Young, seorang ahli sindrom penipu mengatakan bahwa jutaan orang yang sangat cerdas sekalipun memiliki kesulitan dalam merasakan pencapaian mereka. ''Mereka akan menghubungkan pencapaian mereka dengan hal-hal seperti keberuntungan, waktu, dan kepribadian,'' katanya.
Meski Young mengatakan banyak orang yang mengalami sindrom ini, nyatanya dalam dunia psikiatris sindrom penipu tidak dikenali dan tidak masuk dalam panduan diagnosis dari American Psychiatric Association, DSM-5.
Di sisi lain, sindrom unik ini biasanya terjadi pada orang-orang yang ambisius dengan standar kesuksesan yang cukup tinggi. Akibatnya, mereka merasa ketakutan bila suatu hari orang-orang akan menyadari bahwa ia adalah seorang penipu yang sebenarnya tidak punya kemampuan.
Gejala dari sindrom ini pun mudah untuk diidentifikasi, antara lain gampang cemas, tidak percaya diri, frustasi atau depresi ketika gagal memenuhi standar yang ia tetapkan sendiri, serta cenderung perfeksionis (menuntut kesempurnaan).
Sindrom penipu biasanya ditemukan pada orang yang tumbuh besar dalam keluarga yang menekankan pentingnya prestasi. Atau orang yang berasal dari kaum minoritas (misalnya dari segi ras, suku, etnis, agama, jenis kelamin, tingkat pendidikan, atau latar belakang ekonomi).
Satu lagi, sindrom penipu ini paling umum terjadi pada mereka yang baru saja terjun ke dunia profesional setelah menyelesaikan studinya. Sebab mereka merasa belum pantas untuk menjadi seorang profesional karena menganggap dirinya tidak kompeten, meskipun sebenarnya memiliki kompetensi tinggi.
Karena itu, orang yang punya sindrom penipu justru sering menunda-nunda pekerjaan karena takut gagal atau hasil pekerjaan tidak sempurna.