Info

Efek Menghirup Abu Vulkanik, dari Batuk hingga Bronkitis

Secara umum menghirup abu vulkanik akan menjadi penyebab utama mematikan bagi beberapa orang.

Yasinta Rahmawati

Erupsi gunung, hujan abu vulkanik. (Pixabay)
Erupsi gunung, hujan abu vulkanik. (Pixabay)

Himedik.com - Gunung Anak Krakatau meletus pada Jumat (10/4/2020) sekitar pukul 22.35 WIB. Dilaporkan, erupsi Gunung Anak Krakatau yang berada di Selat Sunda tersebut membentuk kolom abu berketinggian mencapai 500 meter dari puncak gunung.

Durasi semburan abu Gunung Anak Krakatau terjadi selama 38,4 menit dengan intensitas sedang hingga tebal dan condong mengarah ke arah utara.

Status Gunung Anak Krakatau hingga Sabtu (11/04/2020) masih berstatus Level II atau waspada dengan konsekuensi. Warga pun tidak boleh mendekat dalam radius dua kilometer.

Menghirup abu vulkanik sendiri memiliki konsekuensi pada kesehatan. Meski cenderung merupakan partikel yang lebih ringan, namun abu vulkanik sebenarnya sangat padat, kira-kira lima sampai enam kali lipat dari air hujan.

Dilansir dari Forbes, secara umum menghirup abu vulkanik akan menjadi penyebab utama mematikan bagi beberapa orang. Saat terhirup, abu vulkanik itu dapat merusak bagian dalam bronkiolus, alveoli dan kapiler.

Dalam jangka panjang, ini dapat menyebabkan silikosis, penyakit yang berpotensi menimbulkan bekas luka permanen pada paru-paru Anda.

Erupsi gunung, hujan abu vulkanik. (Pixabay)
Erupsi gunung, hujan abu vulkanik. (Pixabay)

Jika abu jatuh ke dalam persediaan air dan orang meminumnya, kondisi menyakitkan yang sama juga dapat memengaruhi sistem pencernaan mereka.

Ada beberapa aerosol beracun yang terperangkap di dalam sebagian besar abu vulkanik, termasuk hidrogen sulfida, sulfur dioksida, dan asam klorida dan hidrofluorik.

Yang paling terasa, abu vulkanik bisa menyebabkan sesak napas dan batuk yang berlebihan. Dalam hal sistem pernapasan Anda, Anda mungkin mendapatkan bronkitis.

Selain itu, cukup banyak zat korosif ini dapat menyebabkan mata Anda mulai berdarah, dan kornea Anda bisa menjadi lelah, yang membuat konjungtivitis lebih mungkin terjadi.

Berita Terkait

Berita Terkini