Info

Hingga Masuk Gua, Begini Cara Pemburu Virus Mendeteksi Pandemi Selanjutnya

Mereka mengidentifikasi ratusan jenis virus corona baru.

Yasinta Rahmawati | Rosiana Chozanah

Kelelawar - (Pixabay/jochemy)
Kelelawar - (Pixabay/jochemy)

Himedik.com - Pemburu virus, akan mengenakan hazmat, masker wajah dan sarung tangan tebal untuk menutupi setiap inci kulit mereka agar tidak terpapar virus mematikan ketika masuk ke gua penuh kelelawar

Kontak dengan kotoran atau urine  kelelawar bisa membuat mereka terkena virus yang paling mematikan di dunia, lapor CNN Internasional.

Mereka juga melengkapi diri dengan lampu depan serta mamasang jala di pintu masuk di gua batu kapur di Provinsi Yunnan, barat daya China.

Kemudian, mereka dengan sabar menunggu senja. Ketika matahari terbenam, ribuan kelelawar terbang keluar dari gua, tapi akan langsung masuk ke jala mereka.

Para ilmuwan mengumpulkan jala dan secara hati-hati meletakkan kelelawar untuk tidur dengan anestesi ringan, kemudian mengekstraksi darah dari vena di sayap mereka.

"Kami juga melakukan swab oral dan feses, dan mengumpulkan kotoran," jelas Peter Daszak, pemimpin EcoHealth Alliance, sebuah LSM Amerika yang berspesialisasi dalam mendeteksi virus baru dan pencegahan pandemi.

Spesies Baru Kelelawar. [B.D. Patterson, Field Museum/Eurekalert]
Spesies Baru Kelelawar. [B.D. Patterson, Field Museum/Eurekalert]

Daszak adalah pemburu virus. Selama 10 tahun terakhir, ia telah mengunjungi lebih dari 20 negara untuk mencegah pandemi berikutnya dengan mencari gua kelelawar untuk menemukan patogen baru. Lebih khusus lagi, virus corona baru.

Temuan Daszak dan yang lainnya, menginformasikan perpustakaan open-source semua virus hewan yang dikenal, dari mana para ilmuwan dapat memperkirakan strain mana yang paling mungkin menyebar ke manusia, untuk menyiapkan dunia bagi pandemi baru seperti Covid-19.

"Kami (telah) mengumpulkan lebih dari 15.000 sampel kelelawar, yang mengarah pada identifikasi sekitar 500 virus corona jenis baru," katanya.

Salah satu dari mereka, yang ditemukan di sebuah gua di China pada 2013, adalah kemungkinan 'nenek moyang' Covid-19.

Kelelawar dan manusia

Asia Tenggara dan China menjadi perhatian khusus karena sebagian besar populasi mereka melakukan kontak rutin dengan satwa liar, dengan berburu, menjualnya di pasar basah dan memakannya, menurut Daszak.

Setelah menganalisis sampel darah orang yang tinggal di dekat gua kelelawar di Kabupaten Jinning, Provinsi Yunnan pada 2015, tim Daszak menemukan 3% dari warga memiliki antibodi virus yang biasanya hanya ditemukan pada kelawar. Artinya, mereka telah terpapar sejak lama.

"Mereka mungkin secara tidak sadar telah menularkan patogen ini dan pulih atau hanya memiliki beberapa sel tubuh yang terinfeksi."

Tapi, untuk 'melompat' ke manusia, virus corona harus dapat mengikat reseptor sel mereka, yang biasanya membutuhkan inang hewan perantara. Bisa berupa musang, unta, trenggiling, atau mamalia lain yang terkait erat dengan manusia.

Ilustrasi kelelawar. [Kelelawar].
Ilustrasi kelelawar. [Shutterstock].

Namun, virus itu biasanya dari kelelawar, yang membawa proporsi virus sangat tinggi dan mampu menginfeksi manusia, seperti Marburg, Nipah, Ebola, dan SARS.

"Karena kelelawar terbang mamalia, tubuh mereka terpapar banyak stres, yang biasanya akan menghasilkan respons sistem kekebalan."

"Untuk menghadapi ini, mereka harus menurunkan sistem kekebalan tubuh mereka, yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan terhadap virus dan mampu mentoleransi viral load yang lebih tinggi.”

Kelelawar juga membentuk sekitar 20% dari semua spesies mamalia dan berkumpul di koloni besar di gua-gua, membuat penyebaran virus di antara kelelawar lebih mungkin.

Berita Terkait

Berita Terkini