Wanita

Catat, Tes Keperawanan Adalah Pelanggaran Hak Asasi Perempuan

Penghapusan tes keperawanan sudah menjadi desas-desus Organisasi Kesehatan Dunia.

Angga Roni Priambodo | Yuliana Sere

Tes Keperawanan Adalah Pelanggaran Hak Asasi Perempuan. (unsplash)
Tes Keperawanan Adalah Pelanggaran Hak Asasi Perempuan. (unsplash)

Himedik.com - Tes keperawanan akhir-akhir ini menjadi isu yang sering diperbincangkan. Pasalnya ini dinilai tidak memiliki dasar ilmiah atau klinis.

Terkait hal itu, sebuah pernyataan antar badan dunia baru-baru ini dikeluarkan. Tepat pada 17 Oktober 2018, WHO beserta Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan menyerukan penghapusan tes keperawanan.

Tes keperawanan atau yang biasa disebut tes dua jari atau tes selaput dara merupakan pemeriksaan alat kelamin perempuan yang dirancang untuk menentukan apakah seorang wanita atau anak perempuan telah melakukan hubungan seksual.

Dilansir dari situs resmi akun twitter World Helath Organization (WHO), tes keperawanan tidak memiliki dasar ilmiah atau klinis. Tidak ada pemeriksaan yang dapat membuktikan seorang gadis atau wanita telah melakukan hubungan seks.

Pernyataan tersebut juga mengungkapkan penampilan selaput dara wanita atau anak perempuan tidak dapat membuktikan apakah mereka telah melakukan hubungan seksual, atau aktif secara seksual atau tidak.

Di sisi lain, WHO juga menegaskan tes keperawanan adalah pelanggaran hak asasi anak perempuan dan wanita dan dapat merugikan kesejahteraan fisik, psikologis serta sosial mereka.

Tes Keperawanan Adalah Pelanggaran Hak Asasi Perempuan. (unsplash)
Tes Keperawanan Adalah Pelanggaran Hak Asasi Perempuan. (unsplash)

Hal ini juga memperkuat gagasan stereotip tentang seksualitas perempuan dan ketidaksetaraan gender. Tes keperawanan ini bisa menyakitkan, memalukan dan traumatis.

Mengingat bahwa prosedur ini tidak perlu dan berpotensi membahayakan, tidak etis bagi dokter atau penyedia layanan kesehatan lainnya untuk melakukan tes ini. Prosedur semacam itu tidak boleh dilakukan.

Di beberapa negara, tes keperawanan ini sudah menjadi tradisi. Padahal hal semacam ini dinilai tidak perlu.

Hasil dari tes tidak ilmiah ini dapat berdampak pada proses peradilan, seringkali merugikan korban dan mendukung pelaku, bahkan kadang-kadang pelaku dibebaskan.

Menurut situs ini, para ahli medis dapat menjadi pelaku perubahan. Ini berarti mereka bisa menolak sistem tersebut dan mendidik masyarakat bahwa tes keperawanan tidak memiliki dasar medis dan klinis.

Dengan demikian, mereka menjunjung tinggi sumpah Hipokrates 'tidak melakukan kekerasan' dan menjaga hak asasi anak perempuan dan wanita.

Dr Princess Nothema Simelela, Asisten Direktur Jenderal untuk Kesehatan Keluarga, Perempuan, Anak-anak, dan Remaja, WHO, juga menegaskan penghapusan praktik berbahaya ini membutuhkan respon kolaboratif dari seluruh masyarakat.

Ini juga perlu didukung oleh komunitas kesehatan masyarakat dan sistem kesehatan termasuk para ahli medis.

Berita Terkait

Berita Terkini