Anak

Yayasan Satunama Ajak UST Gelar Seminar Pengasuhan Anak

Seminar ini diselenggarakan sebagai wujud keresahan terhadap anak yang masih sering mengalami kekerasan.

Rauhanda Riyantama

Narasumber: Arist Merdeka Sirait (kanan), Titik Muti'ah, PH.D (tengah), dan Dr. Budi Andayani, MA (kiri). Moderator: Den Baguse Ngarso (ujung kiri).
Narasumber: Arist Merdeka Sirait (kanan), Titik Muti'ah, PH.D (tengah), dan Dr. Budi Andayani, MA (kiri). Moderator: Den Baguse Ngarso (ujung kiri).

Himedik.com - Untuk memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli, Yayasan Satunama menggandeng Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta menggelar Seminar Nasional dengan tema Pengasuhan Anak dalam Keluarga dan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal di Sasana Krida Dinas Dikpora DIY pada Sabtu (11/8/2018).

Seminar tersebut mengundang pembicara, Arist Merdeka Sirait (Komnas Perlindungan Anak), Dr. Budi Andayani, MA (Dosen Psikologi UGM), dan Titik Muti'ah, PH.D (Dosen Psikologi UST). Turut dimoderatori oleh Susilo Nugroho alias Den Baguse Ngarso, seorang seniman fenomenal era 90-an.

Dyah A. Roessusita, dari Yayasan Satunama mengatakan seminar ini diselenggarakan sebagai wujud keresahan terhadap anak yang masih sering mengalami kekerasan. Sebab, banyak orangtua yang berpikir bahwa memukul dan menghardik merupakan salah satu bentuk mendisiplinkan anak. Padahal tindakan tersebut justru berdampak buruk pada mental dan tumbuh kembang anak di masa depan. 

"Seminar ini adalah bentuk kampanye pemenuhan hak hidup anak, hak tumbuh kembang, parstisipasi dan lingkungan. Pola asuh yang akan dibahas dengan pendakatan kearifan lokal yang kita miliki," ungkap Dyah, saat ditemui Himedik di sela-sela acara.

Dyah menambahkan, berdasarkan studi di Departemen Perkembangan Sosial Universitas Washington, Amerika Serikat bahwa kekerasan merupakan kebiasaan yang bisa diwariskan turun temurun. Orangtua yang semasa kecil mengalami kekerasan fisik maupun mental, cenderung akan mengulang pola perilaku yang sama terhadap anak mereka.

Suasana Seminar. (Himedik/Rauhanda)
Suasana Seminar. (Himedik/Rauhanda)

Pada kesempatan berbeda, Ryan Sugiharto, Dosen Psikologi UST mengatakan seminar ini digelar untuk mengelaborasikan gagasan mengenai pola asuh yang digaungkan dua tokoh besar, yakni Ki Hadjar Dewantara dan Ki Ageng Suryomentaram. Kedua tokoh tersebut sebenarnya memiliki napas pengajaran yang sama. Hanya saja Ki Hadjar Dewantara lebih ke pendidikan usia muda, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram lebih ke usia dewasa.

"Dalam seminar ini, semuanya dielaborasikan. Kita juga mau mencari apakah kita memiliki budaya yang cocok untuk pola asuh kita sendiri karena selama ini masih berkaca pada pola asuh luar negeri," jelas Ryan.

Pola Asuh Menurut Ahli

Sementara itu, dalam acara inti, Arist Merdeka Sirait mengatakan Komnas Perlindungan Anak menyatakan bahwa Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak sejak tahun 2013. Kondisi ini diperkuat dengan meningkatkanya pengaduan orangtua yang anaknya mengalami kekerasan  selama lima tahun terakhir, 2013-2017.

Data yang berhasil dikumpulkan oleh Komnas Anak mencapai 216.897 kasus kekerasan yang tersebar di 34 provinsi dan 279 kabupaten/kota. 58 persen di antaranya merupakan kejahatan seksual dan 42 persen sisanya kekerasan fisik, penelantaran, pencilikan, eksploitasi ekonomi, dan perdagangan anak.

Arist menjelaskan, predator kekerasan pada anak justru terjadi di lingkungan terdekat. Misalnya lingkungan rumah, sekolah, dan sosial. Dampak kekerasan bisa secara fisik (luka, patah tulang, meninggal, dan lain-lain) maupun psikis (takut, cemas, depresif, tidak percaya diri,  dan lain-lain).

Untuk memutus rantai kekerasan pada anak menjadi tanggung jawab bersama, terutama orangtua. "Dalam kasus ini, orangtua harus bisa menjadi sahabat anak, menyediakan waktu yang berkualitas untuk anak, mengenali pergaulan anak, melakukan kegiatan ibadah bersama anak, serta terlibat dalam kegiatan sekolah si anak," kata Arist.

Narasumber
Narasumber. (Foto: Dyah A. Roessusita)

Kemudian, Dr. Budi Andayani, MA dalam kesempatannya mengatakan, dewasa ini tingkat kekerasan dan tindak kriminalitas dalam keluarga semakin marak. Hal ini terjadi karena kurang mengilhami hakekat hidup sesungguhnya. Padahal sejak dulu ada pola asuh yang luar biasa dari bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantara.

Menurut Andayani, Ki Hadjar Dewantara sejak dulu mementingnya pendidikan anak untuk mengoptimalkan proses tumbuh kembang anak. Mengingat anak lahir dengan kodrat atau pembawaannya masing-masing. "Yang terpenting dalam proses pendidikan anak adalah mengembangkan karakter dan kompentensi anak," ungkapnya.

Salah satu warisan Ki Hadjar Dewantara tentang sikap dalam menghadapi masalah pengasuhan melalui empat bentuk. Pertama, neng kependekan dari meneng, yang berarti diam tapi tetap konsentrasi. Kedua, ning kependekan dari wening, yang berarti jernih di hati. Ketiga, nung kependekan dari hanung, yang berarti kebesaran hati. Keempat, nang kependekan dari menang, yang berarti kemenangan secara batiniah dan lahirian.

Menanggapi hal tersebut, Titik Muti'ah, PH.D memaparkan, dalam pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, hubungan antara orangtua dan anak dipaparkan dalam kawruh pamomong atau pendidikan. Ini berfungsi untuk mendidik anak (nggulawenthah lare) agar anak mampu mencapai kebahagiaannya.  

Prinsip pertama dari kawruh pamomong adalah sumerep, yaitu mendidik anak agar paham terhadap hal yang benar dan bisa berpikir benar. Mengajarkan hal yang benar adalah mengajarkan ilmu nyata. Dal hal ini orangtua lah yang harus memahaminya pertama kali.

Kedua adalah menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama (raos sih). Tujuannya untuk mencapai kondisi yang kuat dan mampu menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama. Oleh sebab itu orangtua harus mengajarkan seperti tidak membeda-bedakan, disebut raos sami (rasa sama); mengajarkan tidak mengejek orang lain; tidak melampiaskan kemarahan pada anak secara berlebihan; dan lain sebagainya.

Ketiga adalah mencintai keindahan. Prinsip ini merepresentasikan tentang menumbuhkan rasa suka terhadap keindahan pada semua hal. Ini dapat dilakukan dengan membetulkan fungsi indranya sehingga terbebas dari pengaruh pikiran. Output dari proses ini adalah seluruh hal dapat diterima oleh indra dengan wajar dan apa adanya. 

Berita Terkait

Berita Terkini