Anak

Anak dari Keluarga Berpenghasilan Rendah Berisiko Tinggi Idap Alergi

Alergi makanan dapat muncul kapan saja dalam hidup. Tetapi sebagian besar dimulai pada masa kanak-kanak.

Rosiana Chozanah

Ilustrasi alergi pada anak. (Shutterstock)
Ilustrasi alergi pada anak. (Shutterstock)

Himedik.com - Studi dari Northwestern Medicine yang terbit pada 2016 menunjukkan anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih mungkin memiliki alergi makanan yang dapat berdampak parah.

Sebab, alergi pada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih mungkin tidak terdiagnosis akibat kesenjangan sosial ekonomi yang menghambat keluarga mereka mengakses perawatan pencegahan.

Berdasarkan laman Parents, alergi makanan dapat muncul kapan saja dalam hidup. Tetapi sebagian besar dimulai pada masa kanak-kanak.

Tetapi, paparan terhadap alergen yang dilakukan sejak bayi dapat menurunkan risikonya.

Itulah mengapa para ahli menyarankan dalam pedoman kesehatan Amerika Serikat tahun 2017 untuk mengenalkan alergen, seperti makanan yang mengandung kacang, kepada bayi sejak usia 6 bulan.

"Pengenalan dini alergen dan keragaman makanan sangat penting pada masa bayi. Melatih sistem kekebalan si kecil untuk mengenali alergen sebagai makanan, bukan sebagai benda asing adalah langkah penting," kata dokter anak di Universitas Stanford, Alok Patel.

Ilustrasi alergi. (Shutterstock)
Ilustrasi alergi. (Shutterstock)

Tetapi hal itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan bagi keluarga berpenghasilan rendah yang berjuang memberi makan keluarga dan tidak mampu membeli berbagai makanan yang dapat membantu mencegah alergi.

Selain kurangnya pengenalan dini alergen makanan, faktor lingkungan dan kondisi kulit, seperti eksim, juga membuat anak-anak berisiko alergi makanan.

"Kita tahu bahwa eksim (kulit kering dan terbuka) adalah risiko nomor satu untuk mengembangkan alergi makanan," kata dokter anak dan kepala petugas medis SpoonfulOne, Wendy Sue Swanson.

Sementara faktor lain yang meningkatkan risiko alergi makanan pada anak-anak adalah kurangnya vitamin D dan penggunaan antibiotik berlebih.

Berita Terkait

Berita Terkini