Info

Ini Bahayanya Jika Biarkan Suami Makan Sendiri

Jangan sering-sering membiarkan pasanganmu makan sendiri ya.

Dinar Surya Oktarini | Yuliana Sere

Makan sendiri ternyata berbahaya bagi kesehatan. (Achieve HB)
Makan sendiri ternyata berbahaya bagi kesehatan. (Achieve HB)

Himedik.com - Pernahkah kamu membiarkan suami makan sendirian? Bukan dengan sengaja, kamu tak bisa menemaninya karena masih ada pekerjaan di kantor yang harus kamu selesaikan.

Namun, jika ini terjadi berulang kali, ternyata ada dampak yang bisa diterima pasanganmu.

Dilansir dari dailymail, kebiasaan jika membiarkan suami makan sendiri ternyata sudah diteliti oleh tim peneliti Seoul, Korea Selatan.

Para peneliti menemukan pria yang makan sendiri meningkatkan peluang mengidap obesitas hingga 45 persen.

Bukan hanya itu, suami yang sering makan sendiri juga berisiko terkena tekanan darah tinggi atau sindrom metabolik sebesar 64 persen.

Di lain sisi, perempuan juga bisa mendapatkan risiko yang relatif sama.

Hal ini tentunya bisa menyebabkan seseorang merasa kesepian dan membuat pilihan yang tidak sehat saat makan.

Makan sendiri ternyata berbahaya bagi kesehatan. (Shutterstock)
Makan sendiri ternyata berbahaya bagi kesehatan. (Shutterstock)

Peneliti juga menemukan pria meningkatkan risiko terkena sindrom metabolik seperti tekanan darah tinggi atau pradiabetes jika mereka makan sendiri untuk dua kali makan per hari.

Peneliti dari Rumah Sakit Universitas Dongguk Ilsan di Seoul, Korea Selatan, meneliti sebanyak 7.725 orang dewasa.

Mereka meneliti seberapa sering pria makan sendiri dan membandingkannya dengan kesehatan para responden.

Hasilnya ditemukan mereka yang lebih sering makan sendiri cenderung lebih berisiko terhadap beberapa gangguan masalah kesehatan di atas.

Untuk itu, sebaiknya kamu dan pasangan berusaha untuk selalu makan bersama agar menghindari risiko-risiko yang tidak diinginkan.

Ini juga bisa menjadi salah satu bentuk dukunganmu terhadap pasangan ketika kalian telah membangun kehidupan berumah tangga.

Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Obesity Research & Clinical Practice.

Berita Terkait

Berita Terkini