Info

Konsumsi Makanan Berikut untuk Redakan Kecemasan, Bikin Lebih Tenang

Gangguan kecemasan adalah salah satu penyakit mental yang paling umum.

Yasinta Rahmawati | Fita Nofiana

Ilustrasi gangguan kecemasan. (Pixabay/Free-Photos)
Ilustrasi gangguan kecemasan. (Pixabay/Free-Photos)

Himedik.com - Gangguan kecemasan memengaruhi banyak orang. Setidaknya kecemasan telah memengaruhi sekitar 18 persen populasi setiap tahun. Meskipun dapat diobati, kurang dari 37 persen dari mereka yang memilikinya tidak menerima pengobatan untuk kecemasan.

Melansir dari Eat This, sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Cell Reports Medicine dari Weizmann Institute of Science di New York City menemukan bahwa zat yang diturunkan dari tumbuhan mungkin memainkan peran kunci dalam mengurangi tingkat kecemasan.

Zat tersebut dikenal sebagai beta-sitosterol yang ditemukan dengan mudah di berbagai makanan nabati seperti alpukat, pistachio, almond (dan kacang-kacangan lainnya), minyak canola, dan bahkan di beberapa sereal dan biji-bijian lainnya. 

Dalam serangkaian eksperimen perilaku, para peneliti menemukan bahwa beta-sitosterol mampu menghasilkan efek menenangkan pada tikus dengan sendirinya dan bersama-sama dengan antidepresan, Prozac.

Ilustrasi Perasaan Cemas dan Insecure (freepik.com/cookie_studio)
Ilustrasi Perasaan Cemas dan Insecure (freepik.com/cookie_studio)

Menariknya, tikus yang baru saja diberi zat tumbuhan tidak mengalami efek samping apapun yang biasanya terkait dengan obat anti-kecemasan, seperti penambahan berat badan dan kelelahan.

Namun peneliti menegaskan bahwa mengonsumsi makanan yang kaya akan beta-sitosterol secara otomatis akan mengurangi kecemasan. 

Sebaliknya, mengingat temuan dari penelitian hewan ini terbukti dalam uji klinis (pada manusia), kemungkinan beta-sitosterol dapat memungkinkan orang untuk menurunkan dosis obat anti-kecemasan mereka.

"Salah satu masalah utama dengan obat anti-kecemasan yang ada adalah bahwa mereka menghasilkan efek samping, jadi jika beta-sitosterol dapat membantu mengurangi dosis obat tersebut, itu mungkin juga berpotensi mengurangi efek samping yang tidak diinginkan," kata Dr. Nicolas Panayotis, rekan penulis studi tersebut melalui sebuah pernyataan.

Berita Terkait

Berita Terkini